Categories
Business

OTT Gubernur Riau dan Jatah Preman: Mengurai Pola Lama di Meja Kekuasaan

OTT Gubernur Riau dan Jatah Preman: Mengurai Pola Lama di Meja Kekuasaan

Kategori: Opini

Ilustrasi OTT Gubernur Riau dan jatah preman dalam birokrasi
Ilustrasi keuangan publik dan investigasi lembaga antikorupsi. (Pexels)

Kasus OTT Gubernur Riau dan jatah preman kembali mengguncang publik Indonesia. Setiap operasi tangkap tangan menghadirkan pola berulang—terkejut, marah, lalu lupa. Namun kali ini, istilah “jatah preman” menyingkap jaringan kekuasaan yang menembus batas formal birokrasi.

Peristiwa OTT tersebut bukan sekadar berita hukum; ia menguak sisi gelap politik anggaran di daerah — bagaimana praktik informal berkamuflase dalam sistem resmi pemerintahan.

🔎 Mekanisme Bayangan OTT Gubernur Riau

Investigasi lembaga antikorupsi menunjukkan dugaan pemerasan terkait penambahan anggaran proyek. Polanya klasik namun canggih: pembagian persentase, tanda tangan legal, dan justifikasi moral “bagi rezeki”. Di sinilah istilah jatah preman menemukan konteks baru—bukan di jalanan, tetapi di meja rapat.

Ketika budaya informal menyusupi sistem formal, birokrasi tampak bekerja rapi di luar, namun bocor dari dalam.

⚖️ Kekuasaan Sebagai Mata Uang dalam OTT Riau

Biaya politik tinggi menjadikan kekuasaan sebagai alat tukar utama. Dalam setiap OTT Gubernur Riau dan kasus serupa, terlihat bagaimana uang berfungsi bukan hanya untuk proyek, tapi untuk menjaga loyalitas dan posisi. Rantai ini menciptakan ekosistem bayangan yang sulit diurai.

  • Pejabat memerlukan dana politik,
  • kontraktor mengincar akses proyek,
  • “penghubung” menagih jatah.

🛣 Dari Jalanan ke Ruang Rapat

Konsep jatah preman berevolusi: dari pungutan kasar di jalanan menjadi pungutan sistematis di ruang formal. Tekanan dan loyalitas berganti rupa menjadi mekanisme yang diterima sebagai “biaya politik”. Inilah kekerasan struktural baru — halus tapi menjerat.

🔍 Cermin OTT Gubernur Riau bagi Republik

Kasus ini mencerminkan persoalan nasional: korupsi sebagai pola kolektif, bukan sekadar perilaku individu. Reformasi birokrasi masih gagal menyentuh budaya informal yang melandasinya. Selama politik patronase tetap dominan, siklus jatah preman akan berulang di daerah lain.

🛠 Dari OTT ke Opsi Perubahan Sistemik

Menangkap pelaku hanyalah langkah awal. Untuk memutus rantai, diperlukan transparansi anggaran digital, audit independen, dan pembatasan biaya kampanye. Publik perlu berani menolak narasi bahwa “jatah” adalah bagian wajar dari kekuasaan.

Baca juga: Transparansi Digital dan Kepercayaan Publik

Bantu sebarkan pemahaman tentang OTT Gubernur Riau dan jatah preman agar reformasi tak berhenti di headline.